“Peranan Bawaslu dalam Mencegah Politik Uang”
Tinjauan Yuridis UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat Kabupaten sudah terbentuk setelah sebelumnya, hanya bersifat lembaga ad hoc saja yakni Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kewenangan khusus dan istimewa yang melekat berdasarkan undang-undang di kelembagaan Bawaslu menjadi pilar terdepan penegakan hukum Pemilu.
Oleh : Patauntung, S.H. (Wapimred WajoTerkini.Com)
Dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, dengan jumlah Kabupaten 415 dan kota 93, Bawaslu Kabupaten/kota menjadi “motor penggerak” dalam menegakkan hukum Pemilu. Kewenangannya pun diperluas yang termuat dalam UU. No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Perangkat Bawaslu secara berjenjang terdiri dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/desa, hingga pengawas TPS. Pengawasan secara berjenjang hingga sampai pada pengawas TPS secara masif dan ideal akan mewarnai tegaknya penegakan hukum pemilu.
Jika Komisi Pemilihan Umum bersifat tetap dan mandiri dalam undang undang, maka Bawaslu bersifat khusus atau istimewa. Kekhususan yang diamanatkan oleh undang undang ini, sudah selayaknya para komisioner dan anggota Bawaslu hingga ke jajaran paling bawah, juga menghasilkan “out put” penegakan hukum Pemilu demi terciptanya pemilu yang bermartabat dan berkualitas.
Frase yang digunakan dalam undang-undang Pemilu, menyebutkan dengan kalimat awal bahwa keberadaan Bawaslu beserta jajarannya mengutamakan pencegahan baru penindakan. Beberapa pelanggaran klasik dalam Pemilu seperti hal-hal substansi yang dilarang dalam kampanye dan praktik politik uang menjadi “PR” bagi Bawaslu dan jajarannya untuk dilakukan pencegahan dan penindakan.
Pasal 101 di Undang-Undang Pemilu, salah satu tugas kabupaten/kota yakni mencegah terjadinya praktik politik uang dan mengawasi netralitas semua pihak yang dilarang ikut serta dalam kegiatan kampanye. Tata kerja Bawaslu dan jajarannya pun didesain dengan sangat terstruktur dalam melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu, seperti mengidentifikasi dan memetakan pelanggaran Pemilu, mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu, melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah danpemerintah daerah terkait, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu di wilayah kabupaten/kota.
Dalam melakukan penindakan pelanggaran Pemilu Bawaslu menyampaikan hasil pengawasan di wilayah kabupaten/kota kepada Bawaslu melalui Bawaslu Provinsi atas dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan/atau dugaan tindak pidana Pemilu di wilayah kabupaten/kota; menginvestigasi informasi awal atas dugaan pelanggaran, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran Pemilu di wilayah kabupaten /kota; memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu; dan merekomendasikan tindak lanjut pengawasan atas pelanggaran Pemilu di wilayah kabupaten/kota kepada Bawaslu melalui Bawaslu Provinsi. Kewenangan khusus dan istimewa yang melekat dalam tubuh Bawaslu hingga kejajaran paling bawah, semestinya menjadi “leader” dalam penegakan hukum Pemilu.
Hal klasik yang mengemuka di tengah masyarakat adalah masih maraknya praktik politik uang di tengah hiruk pikuk kampanye jelang Pemilu 2019. Banyak kalimat kalimat konotasi yang menegaskan jika politik uang selalu ada mewarnai pesta demokrasi di Indonesa. Misalnya, ambil uangnya jangan pilih orangnya. Atau yang berduit yang berkursi.
Praktik politik uang ini menjadi tugas istimewa bagi Bawaslu dan jajarannya untuk melakukan pencegahan dan penindakan. Sehingga, dalam satu rumusan pasal di UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tugas ini diberikan kepada Bawaslu sebagai jawaban atas fenomena money politik atau politik yang mewarnai Pemilu kita setiap perhelatan dilaksanakan.
Rumusan pasal tentang politik uang ada di Pasal 523 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ayat 1,2, dan 3. Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung untuk memilih atau tidak memilih peserta Pemilu tertentu.
Ancaman pidana yang menjerat pelaku politik uang bisa mulai dari pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.OOO.OOO,OO (dua puluh empat juta rupiah), hingga pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Terkhusus Bawaslu Kabupaten/kota yang menjadi pilar pengcegahan dan penindakan di tingkat kabupaten, semestinya kewenangan khusus dan istimewa yang diberikan oleh undang undang mampu dijawab dengan baik dengan tindakan kelembagaan yang profesional selaku pengawas Pemilu.(***)